Opini Oleh: Rinaldi Potabuga (Pegiat Literasi)
Nalarsulut—Sejak 25 Agustus 2025 lalu, jalanan di berbagai kota Nusantara, ramai oleh aksi massa yang melakukan demonstrasi. Mahasiswa, kaum muda, buruh, dan kelompok “civil society” turun menyuarakan berbagai persoalan bangsa yang akhir-akhir makin tidak waras.
Aksi massa ini tentunya bisa hanya diakui sekadar peristiwa lumrah dalam siklus politik Indonesia. Apa yang terjadi saat-saat ini, sejatinya merupakan “alarm keras” bahwa demokrasi kita sedang berada di jalur kemunduran.
Gelombang protes dari berbagai kalangan, muncul bukan tanpa alasan, ini ada akibat dari kepercayaan rakyat terhadap elite politik yang terus terkikis, dan mekanisme formal demokrasi tidak lagi mampu untuk menyalurkan aspirasi.
Kalau kita tarik jauh ke belakang, 25 tahun pasca Reformasi, Indonesia sering dibanggakan sebagai salah satu negara demokratis terbesar di dunia. Pemilu masih berlangsung setiap lima tahun, partisipasi pemilih masih tinggi, dan secara formal kebebasan pers dijamin konstitusi.
Namun kenyataannya, demokrasi kita tengah digerogoti dari dalam. Demokrasi memang tidak selalu mati oleh kudeta militer atau ledakan kekerasan. Ia justeru bisa mati perlahan, dalam sunyi, lewat tangan-tangan para elite yang terpilih secara sah atau orang-orang yang berada di lingkungan istana—di tubuh kekuasaan.
Barangkali, inilah pelajaran penting yang dikemukakan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku “How Democracies Die” atau “Bagaimana Demokrasi Mati”.
Jika kita bercermin dari paradigma kedua Profesor Harvard ini, tanda-tanda kemunduran demokrasi kita tampak begitu jelas: aturan main demokrasi dimanipulasi lewat revisi undang-undang yang menguntungkan kekuasaan, oposisi politik direduksi menjadi ornamen belaka dalam koalisi besar, aparat hukum dipakai untuk membungkam kritik, dan kebebasan sipil semakin dibatasi di ruang digital maupun di jalanan.
Normalisasi atas praktik semacam ini tentu jauh lebih berbahaya ketimbang kudeta terang-terangan. Publik mulai terbiasa melihat koalisi politik tanpa arah ideologis, pembungkaman aktivis dianggap lumrah, dan media kehilangan independensi karena tekanan modal.
Semua ini terjadi di depan mata, yang entah disadari atau tidak, sedang menggiring demokrasi menjadi sekadar prosedur elektoral yang miskin substansi. Ini yang kita sebut sebagai “Democracy Backsliding” atau kemunduran demokrasi.
Demonstrasi yang merebak sejak Agustus 2025 lalu, adalah reaksi rakyat terhadap “backsliding” ini. Jalanan kembali menjadi ruang koreksi, karena institusi demokrasi formal gagal memainkan perannya.
Ketika pemerintah tenggelam dalam kenyamanan koalisi besar, wakil-wakil rakyat terlena dengan kursi-kursi empuk kekuasaan, dan media kerap memilih diam, maka rakyat hanya bisa mengandalkan bahasa “aksi massa” agar suaranya terdengar.
Ironisnya, aksi tersebut justru sering dilabeli sebagai ancaman, bahkan dipolitisir sebagai “perusuh”, “pemberontakan”, hingga negara mengerahkan instrumen aparat sebagai alat untuk menekan gerakan protes rakyat demi dan atas nama stabilitas.
Di titik inilah terlihat jelas betapa rapuhnya demokrasi kita: ia tidak sanggup lagi menerjemahkan kritik, padahal justru kritik adalah jantung dari demokrasi itu sendiri.
Pada seharusnya, demokrasi adalah soal ruang hidup rakyat yang luas: kebebasan berbicara, independensi lembaga negara, distribusi kekuasaan yang adil, dan partisipasi politik yang bermakna. Tanpa itu semua, demokrasi hanya papan nama—megah secara formal, tapi kosong dari esensi.
Patut kita pertanyakan, apakah rakyat mesti membiarkan demokrasi terus mundur hingga mati tak lagi bernyawa, atau teguh merawatnya dengan keberanian untuk melawan segala bentuk yang melukainya.
Gelombang demonstrasi yang terjadi hari-hari ini, sudah cukup membuktikan bahwa rakyat masih punya kesadaran, masih punya daya hidup. Tetapi daya hidup ini akan padam jika terus dipatahkan dengan represi dan arogansi. Terlebih lagi, kita harus mengingat bahwa sembilan nyawa telah hilang dalam genggaman fenomena ini.
Sembilan nyawa manusia dengan keluarga, cita-cita, dan masa depan yang terenggut, menjadi korban dari kegagalan demokrasi hari ini, demokrasi yang kehilangan wajah kemanusiaannya. Nyawa yang hilang ini adalah alarm pengingat paling pahit bahwa demokrasi yang membusuk bukan sekadar soal prosedur, tetapi soal hidup-mati manusia biasa.
Demokrasi tidak akan mudah mati, bahkan tidak akan pernah mati oleh musuh asing, ia mati oleh kelalaian rakyat dan oleh tepuk tangan kita sendiri yang membiarkan kekuasaan melampaui batas. Dan, gelombang aksi hari-hari ini adalah manifestasi penolakan terhadap tepuk tangan itu.
Kini, bola sebetulnya ada di tangan para elite politik bangsa kita. Tetapi sayangnya, justru di tangan merekalah demokrasi paling sering diperdagangkan, dipelintir, bahkan dipreteli hingga kehilangan martabatnya.
Elite politik harus berhenti memperlakukan demokrasi sebagai panggung transaksi, berhenti menukar mandat rakyat dengan kenyamanan kursi, berhenti menutup telinga terhadap kritik yang lahir dari jeritan jalanan.
Kekuasaan bukan warisan ataupun hak istimewa yang bisa dipakai sesuka hati. Kekuasaan adalah amanah rakyat. Dan setiap tetes darah, setiap suara yang dipukul mundur, setiap nyawa yang melayang, akan menuntut pertanggungjawaban sejarah.
Jika para elite masih terus menutup mata, maka mereka tidak hanya sedang mengubur demokrasi, tetapi juga sedang menggali liang kubur bagi legitimasi mereka sendiri.