OPINI
Oleh: Chandra Mokoagow Pegiat Literasi
NalarSulut—Bolaang Mongondow Raya (BMR) adalah kawasan bersejarah yang terdiri dari empat kabupaten dan satu kota, yakni Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), Kabupaten Bolmong Utara (Bolmut), Kabupaten Bolmong Timur (Boltim), Kabupaten Bolmong Selatan (Bolsel), dan Kota Kotamobagu.
Wilayah ini merupakan satu kesatuan sosial, budaya, dan geografis yang selama ini berada dalam naungan Provinsi Sulawesi Utara.
Lebih dari sekadar bentang administratif, BMR menyimpan jejak panjang sejarah. Dahulu, wilayah ini terdiri dari empat eks Swapraja: Bolaang, Bintauna, Kaidipang, dan Bolango. Keempatnya menjadi pondasi struktur adat, pemerintahan, dan kehidupan masyarakat Mongondow yang bersandar pada nilai kearifan lokal.
Namun, dalam realitas kontemporer, BMR justru kerap dijadikan alat dagang politik oleh para elit. Wacana pembentukan Provinsi Bolaang Mongondow Raya (P-BMR) telah lama bergulir, tetapi lebih sering diputar ulang sebagai komoditas janji menjelang pemilu. Kata-kata manis dijajakan, dukungan rakyat dipanen, namun perjuangan tak kunjung nyata.
Perjuangan pembentukan Provinsi Bolaang Mongondow Raya (P-BMR) telah berlangsung bertahun-tahun. Tapi setiap kali semangat itu disuarakan, rakyat kembali dihadapkan pada kenyataan pahit: janji-janji para elit yang tak pernah ditepati. Dalam bahasa Mongondow, “uboll atau kandi” adalah kata yang tepat untuk menggambarkan situasi ini—dusta yang dibungkus dalam janji-janji manis.
“Uboll” telah menjadi bahasa politik yang diwariskan dari satu rezim ke rezim lain. P-BMR dijadikan komoditas lima tahunan: digelorakan di masa kampanye, diabaikan usai pemilu. Proposal pemekaran diarak ke pusat, tetapi substansi perjuangan dikerdilkan menjadi syarat politik transaksional.
Padahal, pemekaran ini bukan sekadar ambisi wilayah. Ini adalah perlawanan terhadap ketimpangan pembangunan, pemulihan atas keterpinggiran sejarah, dan bentuk nyata kedaulatan rakyat Bolaang Mongondow keseluruhan.
Sayangnya, banyak politisi dan birokrat hanya menjadikan isu ini sebagai tiket menuju kekuasaan. Mereka menyebar uboll—janji yang tak dimaksudkan untuk ditepati. Lalu menghilang dalam senyap setelah mendapat posisi, meninggalkan masyarakat dalam ketidakpastian yang terus berulang.
BMR tidak membutuhkan lagi kata-kata “Uboll”. Yang dibutuhkan adalah langkah konkret, konsolidasi lintas wilayah, strategi lobi ke pusat yang sistematis, dan keberanian politik yang konsisten. P-BMR bukan sekadar pembentukan provinsi baru—ia adalah koreksi atas ketimpangan, pemulihan harga diri sejarah, dan wujud nyata keadilan pembangunan.
Empat eks Swapraja itu telah bersatu dalam sejarah—mengapa tidak dalam perjuangan hari ini? Jika para politisi dan birokrat lokal tidak mampu mengangkat martabat wilayah ini, maka rakyat sendirilah yang harus menuntut akuntabilitas dan mengakhiri lingkaran kandi.
“Uboll” harus dibungkam. Dusta harus diakhiri. Bolaang Mongondow Raya pantas berdiri sebagai provinsi sendiri, bukan sekadar simbol di spanduk dan pidato politik. (*)