NalarSulut—Keputusan pemerintah untuk mendanai proyek gasifikasi batubara melalui Danantara menuai kritik tajam dari aktivis lingkungan.
Proyek ini dinilai sebagai langkah mundur dalam transisi energi bersih dan justru memperpanjang ketergantungan Indonesia terhadap energi kotor.
Presiden Prabowo Subianto dalam rapat terbatas bersama Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional di Istana Merdeka awal Maret lalu menginstruksikan agar proyek gasifikasi batubara menjadi dimethyl ether (DME) kembali dijalankan. Dengan modal dari Danantara, proyek ini akan dilakukan di tiga lokasi di Sumatera dan Kalimantan.
Namun, keputusan ini mendapat penolakan dari berbagai pihak, termasuk Indonesian Climate Justice Literacy. Pendiri organisasi tersebut, Firdaus Cahyadi, menyebut pendanaan ini sebagai “kabar buruk” bagi lingkungan dan masa depan energi bersih di Indonesia.
“Batubara adalah energi kotor sejak dari hulu (pertambangan) hingga hilir (pembakaran). Dari sisi lingkungan, pendanaan Danantara untuk proyek ini harus dilawan,” tegas Firdaus, dalam pernyataan resminya yang diterima redaksi, Senin 10 Maret 2025.
Dampak Lingkungan Gasifikasi Batubara
Berbagai kajian menunjukkan bahwa gasifikasi batubara menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) lebih tinggi dibanding LPG (Liquid Petroleum Gas). Organisasi lingkungan hidup Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER) bahkan mengungkapkan bahwa emisi GRK dari produksi DME lima kali lebih besar dibanding produksi LPG dalam jumlah yang sama, yakni 824.000 ton CO2 ekuivalen per tahun.
Firdaus Cahyadi menilai proyek ini hanya menyelamatkan industri batubara yang mulai ditinggalkan secara global, bukan untuk kepentingan rakyat.
“Ironis, saat kesadaran lingkungan global meningkat dengan menjauhi energi kotor batubara, pemerintah justru ingin memperpanjang penggunaannya dengan solusi palsu bernama gasifikasi batubara,” katanya.
Intervensi Politik dan Kepentingan Elite
Menurut Firdaus, ini bukan kali pertama pemerintah berpihak pada industri batubara. Sebelumnya, pemerintah juga membagi konsesi tambang batubara kepada organisasi masyarakat (ormas) Islam, yang dianggap sebagai langkah politis untuk mengamankan dukungan dari kelompok tertentu.
“Terlalu kuat pengaruh elite pendukung energi fosil di pusat kekuasaan. Ini terus melemahkan komitmen iklim Indonesia,” ujar Firdaus.
Ia pun menyerukan agar publik bersuara dan menolak pendanaan Danantara untuk proyek gasifikasi batubara ini.
“Jika publik diam, keselamatan mayoritas warga akan dipertaruhkan demi kepentingan segelintir orang super kaya yang dekat dengan pusat kekuasaan,” pungkasnya.
Dengan kontroversi ini, pendanaan Danantara untuk gasifikasi batubara dipastikan akan terus menjadi sorotan, terutama di tengah tuntutan transisi energi bersih yang semakin menguat. (*)