Opini oleh: Yayan Mokoagow (Mahasiswa Bolsel)
NalarSulut—Perayaan ulang tahun ke-17 sebuah daerah bukan sekadar seremoni, melainkan momen reflektif untuk menakar capaian, menimbang arah, dan merumuskan kembali masa depan. Di tengah kompleksitas dinamika lokal, globalisasi, dan tantangan sosial-politik, setiap daerah dituntut untuk tidak hanya tumbuh secara fisik, tetapi juga matang secara intelektual dan kultural. Inilah panggung sejarah bagi Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan untuk merumuskan ulang identitas dan arah pembangunannya.
Tujuh belas tahun bukanlah usia yang muda bagi sebuah daerah otonom seperti Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel). Di usia “sweet seventeen” ini, Bolsel tidak hanya sedang merayakan momentum kedewasaan administratif, tetapi juga tengah menapaki titik balik sejarah, sebuah panggilan untuk membangun “jalan pikiran” yang akan mengarahkan masyarakatnya menuju masa depan yang lebih cerah, adil, dan beradab.
Dari Infrastruktur Fisik ke Infrastruktur Intelektual
Selama hampir dua dekade, geliat pembangunan di Bolsel telah menyentuh banyak aspek: jalan raya, jembatan, fasilitas kesehatan, dan pendidikan formal. Namun, pembangunan sejati tidak cukup hanya dengan membangun jalan yang menghubungkan desa ke kota. Lebih penting dari itu adalah membangun “jalan pikiran” yang menghubungkan gagasan ke kesadaran kolektif masyarakat.
Infrastruktur fisik memang penting sebagai fondasi dasar kemajuan. Tetapi tanpa infrastruktur intelektual, yakni ekosistem yang mendukung tumbuhnya nalar kritis, partisipasi aktif warga, serta ruang-ruang diskusi public, pembangunan akan kehilangan arah dan makna. Jalan bisa dibangun, gedung bisa didirikan, tapi jika masyarakat tidak ikut tumbuh secara mental dan intelektual, maka semua itu hanya akan menjadi artefak kosong dari sebuah kemajuan yang semu.
Membangun infrastruktur intelektual berarti menciptakan budaya berpikir yang sehat di tengah masyarakat. Ini bisa dimulai dari mendorong literasi, membangkitkan semangat bertanya, hingga membuka ruang-ruang diskusi yang melibatkan berbagai elemen, mulai dari pemuda, pelajar, guru, petani, hingga tokoh adat dan agama. Ketika masyarakat terbiasa berdialog, berdiskusi, dan berdebat secara konstruktif, maka terbentuklah suatu iklim demokrasi yang tumbuh dari bawah.
Lebih jauh lagi, infrastruktur intelektual juga menyangkut kemampuan daerah dalam membangun narasi dan imajinasi kolektif. Bolsel membutuhkan generasi yang tidak hanya bangga akan identitas lokalnya, tetapi juga mampu membacanya secara kritis dan menjadikannya pijakan untuk membangun masa depan. Pembangunan tidak cukup hanya bertumpu pada angka-angka pertumbuhan ekonomi, tetapi harus menjawab pertanyaan paling mendasar: “Kita mau jadi daerah seperti apa dalam 10 atau 20 tahun ke depan?”
Momentum “sweet seventeen” Bolsel adalah titik refleksi yang tepat untuk menyeimbangkan antara fisik dan pikir, antara beton dan gagasan. Karena pada akhirnya, pembangunan yang paling tahan lama adalah pembangunan yang berlangsung dalam kesadaran kolektif masyarakat, bukan hanya yang terlihat oleh mata, tetapi yang dirasakan oleh akal dan jiwa.
Sweet Seventeen dan Simbol Transisi Peradaban
Usia 17 tahun sering dimaknai sebagai momen transisi dari masa remaja menuju kedewasaan. Dalam konteks Bolsel, ini adalah saat yang tepat untuk melampaui nostalgia pembangunan simbolik dan berani menatap masa depan dengan visi struktural. Pemerintah dan masyarakat harus mulai menanamkan satu kesadaran, bahwa membangun “jiwa kabupaten” jauh lebih penting dari sekadar membangun fisiknya.
Sweet Seventeen bukan hanya perayaan administratif, tetapi penanda bahwa Bolsel telah sampai pada fase di mana peradaban harus dirancang secara sadar. Ini adalah masa ketika kita tidak lagi cukup hanya bangga dengan capaian-capaian permukaan, tetapi mulai menggarap akar dari persoalan kualitas sumber daya manusia, daya tahan sosial, kemandirian ekonomi, serta ketangguhan budaya dalam menghadapi arus zaman.
Momentum ini harus dimaknai sebagai ajakan kolektif untuk mendefinisikan arah baru pembangunan, mulai dari simbol ke substansi, dari proyek ke gagasan, dari kebanggaan instan menuju kematangan berpikir jangka panjang. Kabupaten ini harus berani menggagas cetak biru peradaban local, sebuah visi besar yang menyatukan imajinasi warga dari generasi ke generasi. Bukan hanya soal bagaimana Bolsel dibangun hari ini, tapi tentang bagaimana Bolsel akan hidup dan dikenang seratus tahun ke depan.
Transisi peradaban artinya menyusun ulang prioritas dan menjadikan pendidikan sebagai jalan utama, memperkuat identitas budaya sebagai tameng perubahan, dan mengembangkan ekonomi rakyat berbasis potensi lokal. Bolsel tidak bisa selamanya berjalan di belakang arus global, ia harus menjadi subjek sejarahnya sendiri, yang berdiri tegak dengan karakter, kearifan, dan mimpi-mimpi besarnya.
Jalan Pikiran sebagai Fondasi Politik Etis
Jalan pikiran adalah antitesis dari politik praktis yang sempit. Ketika masyarakat diberi ruang untuk berpikir, maka demokrasi akan hidup. Ketika masyarakat bebas berdiskusi, maka politik akan matang. Ketika anak muda diajak membaca dan menulis, maka korupsi dan ketakutan akan runtuh dengan sendirinya.
Lebih dari sekadar ruang intelektual, jalan pikiran adalah fondasi bagi tumbuhnya politik etis, politik yang berorientasi pada nilai, bukan sekadar kekuasaan. Ia mendorong kesadaran bahwa keputusan publik harus dilandasi oleh argumen yang rasional, bukan kepentingan sesaat. Ia menghidupkan dialog antar generasi, antar golongan, antar perspektif, sebagai bagian dari proses pembelajaran bersama yang membentuk karakter bangsa di tingkat lokal.
Membangun jalan pikiran berarti memulihkan kembali kehormatan ruang publik sebagai arena pertarungan ide, bukan sekadar panggung pencitraan. Ini menuntut keberanian untuk melampaui budaya diam, menggugat status quo, dan merayakan keberagaman pikiran sebagai kekuatan demokrasi. Politik etis tidak lahir dari kalkulasi elektoral, tetapi dari keberanian untuk berkata benar dan berpihak pada kepentingan jangka panjang masyarakat.
Dalam konteks Bolsel, infrastruktur intelektual ini harus menjadi kompas moral pembangunan ke depan. Anak muda perlu didorong menjadi pelaku transformasi, bukan sekadar pengikut tren. Mereka harus diajak masuk dalam laboratorium ide yang menghasilkan kebijakan berbasis nalar dan nurani. Karena hanya dengan itulah, Bolsel akan tumbuh bukan hanya sebagai wilayah administratif, tetapi sebagai ruang hidup peradaban yang bernurani, berpikir, dan bermartabat.
Menata Ulang Paradigma Pembangunan
Bukan berarti kita harus meninggalkan pembangunan fisik. Justru kita harus menyeimbangkannya. Jalan raya penting, tapi jalan pikiran jauh lebih menentukan arah dan kualitas kehidupan sosial. Sekolah dibangun, tetapi sistem pendidikan harus dibebaskan dari budaya hafalan. Kantor-kantor megah dibangun, tetapi birokrasi harus dihidupkan dengan nilai transparansi dan pelayanan publik.
Menata ulang paradigma pembangunan berarti memandang kemajuan bukan semata dari apa yang tampak di permukaan, tetapi dari bagaimana masyarakat tumbuh di dalamnya. Kita harus berani meninggalkan pendekatan pembangunan yang bersifat seremonial dan menggantinya dengan pendekatan transformatif yang menempatkan manusia sebagai subjek, bukan objek pembangunan. Ini adalah ajakan untuk bergeser dari logika mengejar angka ke logika membentuk kualitas hidup.
Pembangunan tidak boleh berhenti pada beton dan besi, ia harus menjangkau ruang-ruang sunyi yang selama ini luput dari perhatian seperti kesadaran ekologis, keadilan sosial, relasi antar generasi, dan penguatan nilai-nilai budaya lokal. Paradigma baru ini mensyaratkan bahwa setiap kebijakan tidak hanya dinilai dari keberhasilannya membangun gedung atau jalan, tetapi dari kemampuannya menciptakan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berdaya pikir.
Bolsel harus menjadi pelopor dalam membangun peradaban lokal berbasis keseimbangan antara hardware (infrastruktur) dan software (kebudayaan, pendidikan, kesadaran kolektif). Sebab, pembangunan yang sejati bukan hanya soal seberapa cepat kita berlari, tetapi seberapa tepat arah yang kita tuju dan seberapa dalam akar yang kita tanam untuk masa depan.
Penutup: Membangun dari Pikiran, Melayani dari Hati
Sweet seventeen Bolsel adalah momentum emas untuk menyatukan kembali visi pembangunan berbasis nilai, bukan hanya anggaran. Kabupaten ini perlu menanamkan gagasan bahwa berpikir kritis bukanlah ancaman, tetapi kekayaan. Bahwa rakyat yang cerdas adalah aset, bukan beban. Dan bahwa pembangunan sejati adalah ketika rakyat bisa berpikir, bertindak, dan bermimpi dengan bebas dalam tatanan sosial yang adil.
Mari kita rayakan Sweet Seventeen ini bukan hanya dengan kembang api dan panggung hiburan, tetapi dengan revolusi kesadaran yang menyentuh akar-akar kemanusiaan. Momentum ini harus menjadi titik tolak untuk menumbuhkan budaya dialog, memperluas cakrawala berpikir, dan menanamkan nilai-nilai integritas dalam setiap lini kehidupan masyarakat. Di usia yang ke-17 ini, Bolsel harus belajar untuk tidak hanya membangun dari atas, tetapi juga dari dalam, dari nalar warga, dari nurani birokrasi, dan dari mimpi-mimpi generasi mudanya.
Kita membutuhkan keberanian kolektif untuk merumuskan masa depan yang tidak sekadar mengulang kebiasaan lama, tetapi mendobrak stagnasi dan membuka jalan-jalan baru menuju keadilan sosial dan kedaulatan berpikir. Inilah saatnya Bolsel menjadi kabupaten yang tidak hanya dibangun secara fisik, tetapi juga dibentuk secara filosofis, yaitu sebuah ruang hidup yang melayani dari hati dan tumbuh dari pikiran.
Sebab pada akhirnya, sejarah tidak akan mencatat siapa yang membangun gedung tertinggi, tetapi siapa yang membangun gagasan terdalam. Dan hanya dengan jalan pikiran yang dibarengi pelayanan dari hati, Bolsel akan menjadi rumah peradaban yang inklusif, tercerahkan, dan berjangka panjang. (*)