“Kekuasaan negara harus didasarkan pada kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin sipil, bukan oleh kekuatan militer”.
John Locke, dalam Two Treatises of Government (1689).
Opini oleh: Chandra Mokoagow (Anak desa yang mencoba berfikir kritis layaknya orang-orang yang hidup di Kota “Perlawanan”)
NalarSulut—Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menimbulkan polemik serius di tengah masyarakat sipil. Dalam sudut pandang kritis, keputusan ini bukan hanya soal modernisasi militer, melainkan memiliki konsekuensi politis yang bisa membuka kembali ruang bagi militerisme dalam politik dan pemerintahan sipil.
Jika dibiarkan, kebijakan ini bisa menjadi cikal bakal kembalinya Dwifungsi ABRI dalam bentuk baru—sebuah skenario Neo-Orde Baru yang bertentangan dengan semangat reformasi 1998.
Militer Profesional atau Mesin Politik?
Reformasi 1998 adalah titik balik bagi demokrasi Indonesia. Salah satu agenda utama gerakan mahasiswa dan rakyat saat itu adalah mengakhiri dominasi militer dalam politik dan pemerintahan. Dwifungsi ABRI, yang dulu memberikan TNI peran ganda—sebagai alat pertahanan negara sekaligus aktor politik—telah dihapuskan demi menjaga profesionalisme dan supremasi sipil.
Namun, pasal-pasal dalam RUU TNI yang baru justru membuka kembali peluang keterlibatan aktif militer dalam sektor-sektor sipil. Wacana penempatan perwira aktif dalam jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pensiun yang jelas merupakan langkah mundur bagi demokrasi. Hal ini mengingatkan kita pada pemikiran Alexis de Tocqueville, seorang filsuf politik Prancis, yang dalam karyanya Democracy in America (1835) memperingatkan bahwa demokrasi dapat runtuh jika kekuasaan eksekutif dibiarkan terlalu dominan tanpa kontrol rakyat.
Apakah kita sedang menghadapi upaya sistematis untuk membangkitkan kembali pengaruh militer dalam pemerintahan? Jika ya, maka ini bukan sekadar soal RUU TNI, melainkan bagian dari proyek besar yang mengarah pada Neo-Orba.
Bahaya Kembalinya Militerisme dalam Pemerintahan
Salah satu alasan utama mengapa supremasi sipil harus dijaga adalah untuk memastikan bahwa keputusan politik diambil berdasarkan kepentingan rakyat, bukan oleh kekuatan bersenjata yang memiliki doktrin tersendiri. Pengalaman Orde Baru menunjukkan bagaimana militerisme dalam politik justru menghasilkan represifitas, pembungkaman kebebasan sipil, serta maraknya praktik korupsi dan nepotisme.
Jika RUU ini disahkan tanpa pembatasan yang jelas, maka konsekuensinya adalah: Pelanggaran Prinsip Supremasi Sipil
Dalam negara demokrasi, pengambilan kebijakan publik harus berada di tangan sipil yang dipilih secara demokratis. Keterlibatan militer dalam jabatan sipil berisiko menggeser keseimbangan kekuasaan dan menempatkan institusi militer di atas pemerintahan sipil.
Selain itu, Potensi Penyalahgunaan Kewenangan tidak dapat dipungkiri. Militer memiliki struktur komando yang hierarkis dan loyalitas yang berbeda dengan birokrasi sipil. Jika perwira aktif diizinkan menduduki jabatan strategis di pemerintahan, ada risiko bahwa kebijakan akan lebih berpihak pada kepentingan korps ketimbang kepentingan rakyat.
Sejak reformasi, militer telah didorong untuk fokus pada tugas pertahanan dan keamanan nasional, sementara urusan politik diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan sipil. RUU ini berpotensi merusak batasan tersebut dan melemahkan agenda reformasi.
TNI dan POLRI: Peran Penting yang Harus Dijaga
Kritik terhadap RUU TNI ini bukan berarti mengerdilkan peran TNI dan POLRI. Sebagai alat negara, TNI memiliki tugas utama dalam menjaga kedaulatan nasional dan menghadapi ancaman eksternal. Begitu pula dengan POLRI yang bertanggung jawab atas keamanan dalam negeri. Keduanya memiliki peran krusial yang harus diperkuat, tetapi bukan dengan cara melibatkan mereka dalam ranah politik dan pemerintahan.
Profesionalisme militer justru harus dijaga dengan memastikan bahwa mereka tetap berada dalam jalur yang sesuai dengan konstitusi, bukan kembali menjadi alat politik. Reformasi TNI harus terus diarahkan pada peningkatan kualitas pertahanan nasional, bukan sebagai justifikasi untuk memperluas kekuasaan di sektor sipil.
Sedikit mengutip apa yang dikatakan Jean-Jacques Rousseau “Ketika rakyat diam, tirani akan berbicara.” Indonesia tidak boleh kembali ke masa lalu. Demokrasi harus terus kita jaga, demi keadilan dan kebebasan bagi seluruh rakyat. (*)