NalarSulut—Kebijakan baru Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) yang mewajibkan desa mengalokasikan Dana Desa untuk Koperasi Desa Merah Putih menuai kritik tajam dari berbagai pihak.
Salah satu suara lantang datang dari Chandra Mokoagow, perangkat desa di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong).
Menurut Chandra, kebijakan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memberikan hak penuh kepada desa dalam mengelola keuangannya berdasarkan hasil musyawarah desa.
“Dana Desa seharusnya digunakan sesuai kebutuhan masyarakat setempat, bukan berdasarkan instruksi dari pusat yang sifatnya mengikat,” ujar Chandra dalam wawancara eksklusif pada Jumat 8 Maret 2025.
Ia menjelaskan bahwa selama ini Dana Desa telah dikelola sesuai prioritas desa, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan kesehatan, dan pendidikan.
Namun, dengan adanya kebijakan yang mewajibkan alokasi dana untuk koperasi melalui Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), pemerintah desa justru kehilangan kendali atas keuangan mereka sendiri.
“Ini tidak sesuai dengan prinsip otonomi desa. Keputusan penggunaan Dana Desa harusnya tetap berada di tangan pemerintah desa melalui mekanisme musyawarah,” katanya.
Chandra juga mempertanyakan urgensi kebijakan tersebut, mengingat tidak semua desa membutuhkan koperasi sebagai solusi ekonomi.
Menurutnya, beberapa desa lebih memerlukan pembangunan yang lebih fundamental daripada koperasi yang belum tentu berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, ia menyoroti potensi penyalahgunaan dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana yang dialokasikan ke koperasi ini.
“Siapa yang menjamin koperasi ini tidak akan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu? Apakah ada mekanisme pengawasan yang jelas?” tanyanya.
Lebih lanjut, ia juga mencurigai adanya potensi monopoli dan kepentingan politik dalam kebijakan ini. Jika koperasi tersebut hanya dikelola oleh pihak tertentu tanpa keterlibatan penuh masyarakat desa, maka manfaatnya tidak akan dirasakan secara merata.
“Kami tidak ingin Dana Desa yang seharusnya untuk masyarakat malah dikuasai oleh segelintir orang. Jika pemerintah pusat ingin mendorong koperasi, seharusnya sifatnya pilihan, bukan kewajiban,” tegasnya.
Sebagai solusi, Chandra menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada penguatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang telah terbukti berkontribusi bagi perekonomian desa.
“Kami tidak menolak koperasi, tapi desa harus diberikan kebebasan untuk memilih. Jangan sampai kebijakan ini justru menghambat pembangunan desa,” pungkasnya. (*)