NalarSulut—Fenomena bunuh diri yang terus meningkat di Indonesia bukan Lagi sekadar angka statistik yang bisa diabaikan begitu saja.
Dilansir dari laman Pusat Informasi Kriminal Nasional Polri (pusiknas.polri.go.id) sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2024, terdapat 988 kasus bunuh diri yang ditangani oleh kepolisian di seluruh Indonesia.
Jumlah ini menunjukkan tren peningkatan bulanan dari Juni hingga Agustus 2024. Dari total 10.428 gangguan keamanan yang ditangani Polri dalam periode tersebut, bunuh diri menempati urutan keempat terbanyak dengan persentase 9,47%. Penemuan mayat menjadi gangguan terbanyak, mencapai 35,46% atau 3.698 kasus.
Angka-angka tersebut mungkin hanyalah puncak gunung es yang tampak di depan mata, mengingat stigma sosial sering kali membuat banyak kasus tidak terungkap. Di balik data yang terus bertambah, besar kemungkinan ada tragedi sosial yang seharusnya menjadi perhatian bersama.
Mungkinkah negara telah gagal menyediakan ruang hidup yang aman, layak, dan memberi harapan bagi rakyatnya?.
Di tengah masyarakat, masih banyak dari kita yang menganggap bunuh diri sebagai keputusan personal akibat lemahnya mental seseorang dalam menghadapi hidup. Mereka yang memilih jalan ini kerap dicap sebagai individu yang kurang kuat, tidak mampu menghadapi realitas, atau bahkan dianggap kurang iman.
Jika kita memotret fenomena ini secara radikal, apakah benar demikian?. Jika ribuan orang setiap tahunnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, mungkinkah hal tersebut hanya karena persoalan individu semata?. Atau ada tekanan struktural yang membuat mereka merasa tidak punya pilihan lain?.
Dalam tatanan sosial yang semakin kompetitif dan tampak eksploitatif, banyak orang merasa kehilangan pegangan hidup. Secara ekonomi, misalnya, ketimpangan semakin nyata. Sulitnya mendapatkan pekerjaan layak, serta biaya hidup yang terus meningkat, dan minimnya perlindungan sosial menciptakan tekanan yang tidak tertanggungkan. Sistem ekonomi yang tampak lebih berpihak pada kapital dan kelompok elite memperlebar jurang antara mereka yang memiliki akses dan yang tidak.
Bagi banyak orang, bertahan hidup bukan lagi soal perjuangan, melainkan soal bertarung melawan keputusasaan yang semakin besar setiap harinya. Jika sistem terus menciptakan ketidakadilan ekonomi, maka wajar jika banyak individu kehilangan harapan.
Lebih lanjut, di sektor pendidikan, tekanan yang dialami generasi muda semakin berat. Kurikulum yang ketat, tuntutan nilai tinggi, serta ekspektasi sosial yang terus menggunung menjadikan banyak peserta didik bahkan yang masih di bawah usia 15 tahun jatuh dalam tekanan psikologis yang sangat mengkhawatirkan.
Pendidikan seharusnya tidak hanya mengajarkan bagaimana menjadi pintar dalam hitungan akademik, tetapi juga bagaimana mengelola kehidupan dan kecerdasan emosional dalam menghadapi tekanan yang datang sewaktu-waktu.
Jauh dari harapan ideal kita, realitasnya, sistem pendidikan saat ini justru memperkuat budaya kompetisi yang tidak sehat, di mana kegagalan bukan lagi dianggap sebagai bagian dari proses belajar, melainkan sebagai sesuatu yang memalukan dan harus dihindari dengan segala cara. Dalam tekanan semacam ini, tak sedikit yang akhirnya merasa tidak punya jalan keluar.
Sementara itu, di luar tekanan ekonomi dan pendidikan, krisis kesehatan mental di Indonesia juga masih belum mendapat perhatian yang memadai. Akses terhadap layanan kesehatan jiwa masih terbatas, terutama di daerah pinggiran. Psikolog dan psikiater masih menjadi layanan mahal bagi kebanyakan orang, sementara fasilitas kesehatan mental di rumah sakit umum sering kali tidak cukup memadai. Layanan BPJS yang seharusnya bisa membantu pun masih berbelit, menambah panjang daftar kendala bagi mereka yang membutuhkan pertolongan.
Alih-alih mendapatkan bantuan, mereka yang mengalami gangguan mental justru sering kali menghadapi stigma dari lingkungan sekitarnya.
Depresi dan kecemasan masih dianggap sebagai bentuk kelemahan, atau bahkan dikaitkan dengan kurangnya keimanan, pun, tak sedikit yang menganggapnya sebagai aib yang mesti ditutup rapat. Akibatnya, banyak orang memilih diam dan berjuang sendirian, hingga akhirnya tidak lagi mampu bertahan.
Di sisi politik, negara memang telah mulai menggaungkan kampanye kesehatan mental, tetapi keseriusan dalam eksekusi kebijakan masih jauh dari harapan.
Alih-alih menghadirkan reformasi yang berpihak pada kesejahteraan mental rakyat, negara tampak lebih sibuk mengurusi agenda politik elektoral.
Diskursus tentang kesehatan mental sering kali hanya menjadi retorika populis yang digaungkan pada momen tertentu, tanpa ada langkah nyata yang sistematis.
Jika fenomena bunuh diri terus meningkat dari tahun ke tahun, lalu di mana peran negara dalam menciptakan lingkungan sosial yang lebih sehat?.
Fenomena ini menunjukkan bahwa negara belum cukup serius mengatasi persoalan yang sudah berada di titik krisis. Kita bisa saja terus berdebat tentang akar permasalahannya yang kompleks, tetapi satu hal yang pasti, problem ini bukan semata-mata tentang individu yang lemah dalam menghadapi hidup, melainkan juga tentang kegagalan struktural dalam menyediakan sistem yang memberikan rasa aman dan harapan bagi rakyatnya.
Jika sistem yang ada justru menjadi sumber tekanan, maka membicarakan tanggung jawab negara bukan lagi sekadar menjadi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan.
Negara seharusnya tidak bisa lagi hanya bertindak sebagai penonton pasif, melainkan harus mengambil langkah serius untuk menjawab tantangan ini secara struktural.
Lebih dari sekadar data yang bisa diarsipkan, setiap angka dalam kasus bunuh diri merepresentasikan nyawa yang hilang—mimpi yang pupus, dan harapan yang kandas. Sebab, persoalan ini bukan hanya tentang mereka yang telah pergi, tetapi juga tentang kita yang masih bertahan hari ini.
Jika kita tidak melihat fenomena ini sebagai peringatan serius, maka perlahan tapi pasti, kita akan menyadari bahwa kita hidup dalam masyarakat yang semakin kehilangan empati—di mana setiap individu dibiarkan bertarung sendirian dengan beban yang dipikulnya.
Pertanyaan paling mendasar yang perlu kita ajukan bukan hanya “mengapa mereka memilih bunuh diri?” tetapi juga, “apa yang telah kita lakukan sebagai masyarakat dan sebagai negara hingga mereka merasa tidak punya pilihan lain?”.
Jika jawaban atas pertanyaan itu masih samar atau bahkan nihil, maka kita sedang berjalan menuju krisis yang jauh lebih besar dari yang kita kira. (*)
Opini oleh: Rinaldi Potabuga Pegiat LiterasiÂ