NalarSulut—Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengonfirmasi bahwa tahun 2024 adalah tahun terpanas yang pernah tercatat, dengan suhu global rata-rata melampaui tingkat pra-industri sebesar 1,55°C.
Ini menjadi tahun kalender pertama di mana suhu rata-rata global melampaui target Perjanjian Paris untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5°C.
Beberapa negara di Asia, termasuk Jepang, India, dan Cina, mencatat rekor suhu terpanas sepanjang sejarah mereka.
Dampak dari suhu ekstrem ini sangat terasa, dengan berbagai bencana iklim yang melanda wilayah Asia sepanjang tahun 2024. Di Asia Tenggara, lebih dari 800 orang meninggal akibat Topan Yagi. Gelombang panas ekstrem melanda Asia Selatan dan Tenggara, banjir besar menghancurkan wilayah Cina, dan Jepang mengalami rekor periode tanpa salju terpanjang di Gunung Fuji.
Norly Mercado, Direktur Regional 350.org Asia, menyoroti urgensi krisis ini. Dampak iklim yang mematikan di seluruh Asia menunjukkan bahwa setiap fraksi derajat dalam pemanasan global itu penting.
“Miliaran orang menghadapi gangguan kehidupan, kehilangan mata pencaharian, hingga kematian. Namun, pemerintah masih belum cukup berbuat untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan menggantikannya dengan energi terbarukan yang berpusat pada masyarakat,” tegas dia, dalam rilisnya yang dikirim melalui email, Selasa 14 Januari 2025.
Mercado juga menekankan pentingnya pembaruan rencana iklim nasional atau Nationally Determined Contributions (NDC), yang dijadwalkan jatuh tempo pada Februari 2025. Ia mendesak agar pemerintah memasukkan langkah konkret untuk menghentikan bahan bakar fosil dan beralih ke energi terbarukan secara adil.
Sementara itu, Chuck Baclagon, Juru Kampanye Regional Asia 350.org, menambahkan bahwa masyarakat Asia telah menunjukkan bahwa transisi ke energi terbarukan yang dipimpin komunitas tidak hanya mungkin tetapi juga dapat meningkatkan ketahanan terhadap dampak iklim.
“Energi terbarukan yang dipimpin masyarakat memberikan harapan untuk masa depan Asia. Namun, selama pemerintah masih mengandalkan industri bahan bakar fosil dan perusahaan besar untuk solusi iklim, kepentingan planet dan masyarakat akan terus diabaikan demi keuntungan,” ujar Baclagon.
Pelanggaran batas 1,5°C ini, lanjut Baclagon, menegaskan bahwa transisi yang adil di Asia tidak bisa lagi ditunda.
“Pembuat kebijakan harus segera mendengarkan masyarakat dan memanfaatkan potensi energi terbarukan yang dipimpin komunitas, atau konsekuensi bencana akan terus meningkat, terutama bagi masyarakat paling rentan di Asia.”
Dengan Asia sebagai salah satu wilayah yang paling terdampak oleh perubahan iklim, para ahli menegaskan bahwa tindakan segera dan konkret sangat diperlukan untuk mengurangi risiko di masa depan.